Minggu, 20 Desember 2009

MENJADI SEPERTI IBU

By. Reno Raditya
Rindy : “harus tahun ini bu, mas ferdy juga udah siap kok”
Ibu rindy : “tapikan rin, menikah itu nggak segampang yang kamu pikirkan? Semuanya harus kamu pertimbangkan matang - matang”
Ibu rindy kembali mengaduk masakan yang mulai mendidih, sementara rindy hanya duduk dimeja makan.
Ibu rindy : “bukan hanya modal cinta dan materi saja yang dibutuhkan untuk membangun sebuah keluarga, hati kamu juga. Apa kamu sudah siap untuk mengurus keluargamu seutuhnya? Termasuk melayani suamimu dan anak – anakmu nantinya”
Rindy : “kalau soal itu gampang bu, saya kan bisa sekalian belajar. Atau saya juga bisa pake tenaga pembantu dan baby sitter kok?”
Ibu rindy : “rin.. rin.. ibu tahu, tapi yang paling penting dari semuanya adalah bagaimana cara kamu mengelola keluarga kamu dengan baik. Itu aja”
Ibu rindy menyiapkan hidangan makan malam di meja, sembari sesekali mencicipi makan yang masih dimasak untuk memastikan rasanya.
Rindy : “jaman kan sudah berubah bu, kita mestinya sudah berpikiran modern. Bukannya terpaku dengan cara berpikir orang – orang dulu. Yang jelas saya sudah siap untuk membina rumah tangga dengan mas ferdy”
Rindy bangkit dari duduknya, dan beranjak meninggalkan ruang makan menuju kamar tidurnya. Ibunya hanya menggeleng mendengar keputusan rindy itu. Sifat egois anak bungsunya itu kayaknya membuat rindy semakin tidak bisa diatur.

(jeda sound)
Dengan pelaksanaan pesta pernikahan yang cukup meriah, rindy dan ferdy duduk bersanding dipelaminan. Semua tamu yang hadir dengan khidmat mengikuti prosesi pernikahan yang dilakukan dengan adat bugis.
Rindy tersenyum menyalami setiap undangan yang menghampirinya, dan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan kata – kata.
Nita : “selamat yah atas pernikahan kamu”
Rindy : “terimakasih juga yah atas kedatangan kamu nit”
Sahabat rindy pun berlalu, dan berjalan mendekati meja prasmanan yang berada tepat disudut ruangan.
Rindy kembali mengamati setiap orang yang ada diruangan itu, dan kemudian berbalik tersenyum kearah ferdy yang telah resmi menjadi suaminya. Ferdy pun mengecup kening rindy dengan perasaan cintanya.

(jeda sound)
Diawal pernikahannya, rindy merasakan kebehagaian bersama suaminya ferdy. Mereka mencoba membangunrumah tangga yang memang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
Sampai suatu malam ferdy mencoba ngobrol serius dengan rindy.
Ferdy : “rin.. mungkin sebaiknya kamu berhenti bekerja saja. Saya mau kamu focus untuk mengurus keluarga”
Rindy : “maksud mas, saya tinggal dirumah saja gitu?”
Ferdy mengangguk mengiyakan perkataan rindy.
Rindy : “nggak bisa mas, saya nggak akan mungkin bisa melakukan itu. Mas ferdy kan tahu sendiri, saya bukan tipikal orang hanya bisa diam dirumah tanpa melakukah sesuatu”
Ferdy : “maksud saya nggak gitu rin, saya hanya ingin kamu bisa menjaga kesehatan kamu”
Rindy mengambil nafas panjang, dia mencoba menenangkan dirinya.
Ferdy : “setidaknya dengan kamu banyak istirahat, keinginan kita untuk memiliki momongan kan bisa terpenuhi”
Rindy semakin bingundengan cara berfikir suaminya, yang seolah – olah menjugdenya dengan bekerja mereka tidak akan bisa punya anak.
Rindy : “dari awal kan saya sudah bilang mas, saya nggak akan berhenti bekerja. Karena saya sangat mencinta pekerjaan saya. Kalau mas fikir saya salah, itu terserah mas ferdy. Yang jelas saya nggak ingin ditekan seperti ini”
Ferdy : “tapi rin…”
Rindy : “udah mas, saya mau tidur. Saya ngantuk..”

(jeda sound)
Ibu rindy : “ibu kan sudah pernah bilang, menikah itu tidak segampang yang kamu fikirkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, salah satunya yang kamu alami saat ini”
Rindy : “tapi bu, mas ferdy sudah sangat teramat egois kalau memaksakan kehendaknya seperti ini”
Ibu rindy : “kamu harusnya mengerti keinginan suamimu itu, niatnya baik rin. Dia ingin supaya kamu banyak istirahat dan nggak kecapean lagi. Kamu kan tahu sendiri, diagnose dokter mengatakan kalau kamu nggak akan bisa punya anak kalau sibuk begini terus”
Rindy menutupi wajahnya dengan bantal sofa ruang tamu, keinginannya untuk terus bekerja sepertinya mulai ditentang oleh banyak orang. Termasuk ibunya sendiri.
Rindy : “kayaknya ibu sama mas ferdy itu sama aja, sama – sama egois”
Rindy bangkit meninggalkan ibunya yang masih duduk disofa.
Rindy : “saya pamit dulu bu”
Ibu rindy hanya menggeleng melihat sikap keras kepala anak perempuannya itu.
Ibu rindy : “rin… rin… kapan kamu bisa dewasa nak”

(jeda sound)
Masih lekat diingatan rindy, tentang ibunya yang dengan penuh kasih sayang marawatnya. Memberinya perhatian, dan selalu menjaganya. Sebenrnya jauh dilubuk hatinya yang paling dalam, rindy juga ingin memiliki anak yang bisa meramaikan keluarga kecilnya itu. Tapi disisi lain dia juga tidak ingin mengorbankan pekerjaannya.

(jeda sound)
Rindy : “maaf mas, saat ini saya capek banget. Mending kita nggak usah bahas itu dulu”
Ferdy : “saya ngerti rin, tapi kita juga nggak bisa mendiamkan masalah ini berlarut – larut. Kamu kan tahu sendiri kedua orang tua kita sudah mendesak kita untuk segera memiliki momongan”
Rindy kembali menarik nafas panjang, dan mejatuhkan dirinya disofa ruang tengah.
Rindy : “aku juga tahu, tapi mas ferdy juga nggak bisa nekan saya kayak gini. Saya juga capek mikirin semuanya mas… beri saya waktu untuk mengambil keputusan”
Rindy kemudian masuk kedalam kamar tidur, dan menghempaskan daun pintu kamarnya.
Tiba – tiba telpon diruang tengah berdering….
Setelah menerima telpon, ferdy kemudian buru – buru menuju kamar tidurnya.
Ferdy mengetuk pintu kamar.
Ferdy : “rin… rindy… ada telpon dari ayah”
Rindy keluar dari kamarnya dan menghampiri telpon yang ada diruang tengah.
Rindy : “halo ayah, ada apa?”
Ayah : “rin, penyakit ibu kamu kumat lagi. Saat ini ibu dirawat di icu rumah sakit harapan kasih, kamu kesini sekarang yah”
Rindy : “iya yah, saya segera kesana”
Rindy dan suaminya buru – buru menju rumah sakit, ke khawatirannya membuat rindy semakin panic dengan kondisi ibunya.

(jeda sound)
Rindy : “keadaan ibu gimana yah??”
Ayah rindy : “ibu kamu masih kritis, kita berdoa semoga keadaan ibu baik2 saja”
rindy memperhatikan ibunya yang terbaring lemah dibangsal ruang ICU.
Setelah beberapa lama, akhirnya ibu rindy siuman.
Ibu rindy : “rin… fer…”
Rindy : “iya bu…”
Ferdy juga medekati rindy yang berada tepat disamping tempat tidur ibunya.
Ibu : “maafin ibu nak.. gara – gara kalian berdua menjadi seperti ini”
Rindy : “ibu… ini semua bukan salah ibu…”
Ibu rindy : “ibu selalu ingin menjadikanmu seperti yang ibu inginkan”
Rindy menangis melihat kondisi ibunya.
Ibu rindy : “sebenarrnya ibu hanya ingin kamu mengerti, betapa pentingnya peran seorang ibu dalam sebuah rumah tangga”
Ibu rindy sesekali batuk..
Rindy : “maafkan kami berdua bu, rindy nggak pernah mendengarkan ibu”
Rindy memluk tubuh ibunya yang masih terbaring lemah.
Ibu rindy : “fredy…”
Ferdy mendeti ibu rindy.
Ibu rindy : “jaga keluarga kamu baik – baik”
Ferdy : “baik bu..”
Rindy menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan ferdy, sementara ibu rindy tersenyum dengan wajah pucatnya.

(jeda sound)
Akhirnya rindy memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, dan mencoba untuk banyak istirahat serta mengurus rumah tangganya. Sementara kondisi ibunya juga kembali pulih.
Setelah setahun, akhirnya anggota keluraga rindy bertambah satu. Seorang anak perempuan yang perawakannya mirip dengan ferdy suaminya, anak yang lucu dan juga semakin meramaikan rumahnya.
Kini rindy sadar, untuk menjadi perempuan dan ibu seutuhnya banyak hal yang harus dikorbankannya. Dan hal ini juga membuatnya berterimakasih pada ibunya yang telah banyak mengajarkannya untuk bisa lebih menyadari tentang arti penting menjaga keutuhan keluarga.