By. Reno Raditya
Sudah hamper se-jaman ryan memandangi tembok berlumut dekat kantin kampusnya, dia berusaha mencari inspirasi untuk tugas kuliahnya yang sudah deadline. Untuk kesekian kalinya dia kembali membolak – balik halaman buku tebal yang ada di pangkuannya.
Adit : “kamu nyari apaan sih??”
Ryan : “nyari apaan yah?? Ilham mungkin..”
Adit : “bukannya ilham udah balik?”
Ryan : “bukan ilham itu dodol, yang saya cari itu inspirasi. Inspirasi karya yang harus saya ciptakan untuk tugas kuliah kita. Robot, kayaknya udah biasa deh. Kalo hal – hal yang berhubungan dengan otomotif, udah terlalu biasa juga.”
Ryan langsung menarik adit kedekatnya.
Ryan : “bagusnya bikin apa neh?”
Adit cuman geleng – geleng sambil masang wajah bloonya.
Adit : “bikin apa yah?? Saya juga bingung soalnya.”
ryan spontan menjitak kepala sahabatnya itu.
Adit : “sakit tau…”
Adit meringis kesakitan, sementara ryan hanya cengengesan melihat tingkah sahabatnya itu.
Vey : “lagi pada ngapain sih?? Pacaran yah??”
Adit : “pacaran dari hongkong, ini juga udah gerah banget nemenin ryan yang kerjaannya dari tadi cumin melototin tembok yang lumutan itu”
Tiba – tiba ryan meralat perkataan adit.
Ryan : “wey… ingat yah, saya disini bukannya melototin tembuk, tapi untuk mencari inspirasi supaya bisa membuat satu karya yang lebih cemerlang”
Vey : “dasar makhluk aneh…”
Ryan kembali cengengesan membalas umpatan vey.
Ryan : “biarin… weeekkk…”
Ryan kembali diam memandangi tembok yang ada di hadapannya sambil menulis beberapa catatan, sementara adit kembali asik dengan PSPnya
Vey : “makan yuk, laper neh”
Adit : “ryan, ayu kekantin. Dah laper nih, tuh vey juga dah ngajak”
Ryan masih diam dan tidak menggubris kedua temannya itu.
Vey : “saya traktir deh kali ini”
Tanpa aba – aba, ryan langsung beranjak dari duduknya melangkah menuju kekantin kampusnya.
Vey : “dasar kunyuk”
Vey dan adit mengekor dibelakangnya.
-------------------------------------------------------------------------------------
Selesai jam kuliah, vey, adit dan ryan nongkrong dihalte bus yang berada tepat depan kampusnya.
Tino : “eh, bule depok. Ngapain lo dstu??”
Ryan : “ngapain apa maksud kamu?? Emang saya nggak boleh disini??”
Tino : “eh.. gw kasih tau yah, kita nggak pernah nerima bule depok berkeliaran disekitar sini. Apalagi bentuknya kaya lo. Bule nggak, pribumi juga nggak”
Vey : “kamu kenapa sih no, sentiment banget sama ryan. Emang dy ada salah apa sama kamu??”
Tino : “salah apa yah?? Hm.. gw cuman g suka aja sama bule depok kayak dy”
Adit : “kalian ngeributin apaa sih??”
Vey malah melotot kearah adit yang mulai bertingkah konyol.
Tino : “gw cuman ingatin aja, gw g suka bule depok ini bertingkah dan berkeliaran didepan gw”
Tino berlalu dari hadapan mereka, dan vey mencibir kearahnya.
Vey : “kamu jangan terlalu ambil hati perkataan si tino, anaknya emang gitu”
Ryan : “nyante aja kali vey…”
Vey : “ya udah klo gtu, tapi ngomong – ngomong alat chip microphone yang lo ciptain udah jadi g??”
Ryan : “udah, tinggal uji coba. Moga aja kali ini berhasil”
Ryan memastikan chip mickrophone ciptaannya tersimpan baik didalam tas ranselnya.
Adit : “emangnya chip microphone kamu itu gunanya apa sih??”
Ryan : “dengan chip microphone ini kita bisa mendengar percakapan orang dari jarak beberapa ratus meter.”
Adit : “caranya??”
Ryan : “ni anak oonnya nggak berenti – berenti juga, caranya tuh kita harus mendekatkan chip michrophon ini ke orang yang kita tuju. Trus pembicaraan mereka bisa kita dengar melalui decoder ini”
Adit : “kayak spy gtu yah??”
Ryan : “tumben kamu pinter…”
Adit : “adit gitu loh..”
Ryan dan adit tertawa bersamaan.
Vey : “berangkat yuk, jangan sampe filmnya dah maen”
Mereka bersamaan beranjak menuju mobil vey yang terparkir dekat gerbang kampus.
-------------------------------------------------------------------------------------
Vey : “denger – denger katanya tino terkait sindikat narkoba yah??”
Ryan : “sapa yang bilang?”
Vey : “kemaren aku denger dari kina, katanya dy pernah ngeliat tino sakaw di tempat kos andry”
Ryan : “masa sih??”
Vey : “saya juga antara percaya dan tidak, tapi kalau diliat dari fisiknya sih kayaknya gitu deh”
Ryan : “sudah ah, nggak baik ngomongin orang laen”
Tiba – tiba adit berlari kearah mereka, dia terlihat sangat panic.
Vey : “kamu kenapa dit, kayak habis liat hantu aja”
Nafas adit tersengal – sengal.
Adit : “itu vey.. eh.. chip microphonenya ryan.. td nggak sengaja waktu mengikuti tino, microphonenya jatuh trus masuk kedalam tas temennya tino.”
Ryan : “kok bias?”
Adit : “saya juga nggak tahu ryan, semuanya terjadi begitu aja”
Ryan : “kamu sih teledor banget, trus chip microphonenya dalam keadaan on g?”
Adit mengangguk mengiyakannya.
Mereka hanya bisa berpandangan, ryan sendiri nggak tahu gimana caranya untuk bisa mengambil chip mickrophonenya dari dalam tas temannya tino.
Tapi ryan tidak kehabisan akal, dia langsung menyalakan decoder miliknya yang bisa menghubungkannya dengan chip mickrophone itu.
Mereka mendengar pembicaraan yang lumayan serius, tino seperti dipaksa untuk menyerahkan barang yang harus diambilnya dari seorang Bandar narkoba. Ryan, adit dan vey terkejut mendengar semua itu. Ternyata apa yang mereka perkirakan semuanya benar.
Vey : “kita harus gimana dong? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada diri tino”
Ryan : “kita harus menolong dy”
Dari decoder itu mereka mendengar suara pukulan, dan suara orang meronta secara bersamaan.
Vey : “keadaannya semakin gawat neh..”
Tino masih dipaksa untuk menyerahkan barang yang diminta oleh orang yang suaranya mereka tidak kenali, tapi tetap saja tino tidak bisa berikan karena barang itu ternyata hilang.
Mereka kembali medengar suara pukulan dan suara erangan kesakitan secara bersamaan.
Vey : “adit mana??”
Tanpa sepengetahuan mereka, adit menghubungi pihak berwajib.
Ryan : “sebaiknya kita kesana untuk menolong tino”
Beberapa menit kemudian polisi pun dating, sementara ryan, adit, dan vey berusaha menolong tino yang mengalami luka lebam akibat pukulan dari segerombolan orang brewok.
Semua orang brewok itu di tangkap pihak kepolisian, sementara tino dilarikan kerumah sakit oleh ryan, vey dan adit.
tino : “makasih ryan, kamu sudah membantu saya”
Ryan : “sebagai teman itu sudah kewajiban saya untuk membantu kamu”
Tino : “maaf juga kalau selama ini kalau saya pernah membuat kamu sakit hati..”
Vey dan adit hanya melihat mereka dari jauh, sementara tino masih menyesalkan semua sikapnya terhadap ryan.
Meskipun ryan seorang blasteran, dia tetap merasakan kalau dia adalah warga Negara Indonesia sepenuhnya. Sama seperti vey, adit dan tino. Dia akan tetap menjunjung tinggi sebuah persahabatan dan tidak akan kompromi dengan hal – hal yang melanggar hokum.